Pada momentum Apel Tahunan Pondok Pesantren Bustanul Ulum Mlokorejo. Yayasan Wakaf Sosial dan Pendidikan Islam (YWSPI) bekerja sama dengan STAI RAYA Mlokorejo Jember untuk menghadirkan salah satu tokoh akademisi Jember, Prof. Dr. H. Hepni, S.Ag., M.M. sebagai pembicara, (30/06/2024). Kegiatan yang digelar di halaman STAI RAYA tersebut berlangsung dengan meriah dan khidmah.
Rektor UIN KHAS Jember secara garis besar membahas persoalan konsep pendidikan pesantren yang berbeda dengan lembaga pendidikan pada umumnya. Bahkan, dari konteks penyebutan mahasiswa yang kuliah di perguruan tinggi berbasis pesantren saja berbeda, mereka kerap disebut sebagai mahasantri. Seorang akademisi yang memiliki karakter ulul albab. Perpaduan antara pola dzikir dan pola pikir. Pola dzikir, yakni senantiasa mengingat Allah kapanpun, dalam situasi dan kondisi apapun. Sedangkan pola pikir adalah senantiasa melakukan kontemplasi, muhasabah tentang alam dan ilmu pengetahuan. Sederhanya, mereka adalah perpaduan otak Jerman dan hati Mekkah. Formulasi kedua pola ini akan melahirkan ketawadhuan yang tinggi, baik di hadapan Allah maupun sesama manusia.
Kemudian pembeda selanjutnya adalah pesantren memiliki Asasul Khomsah, Panca Jiwa, 5 prinsip yang dipegang teguh oleh pesantren sebagai watak peradaban pesantren. Pertama keikhlasan, ketika wali santri memasrahkan anaknya kepada pengasuh yang disampaikan bukan untuk anaknya menjadi apa-apa, kerja apa, berpenghasilan berapa, melainkan untuk menghilangkan kebodohan. Inilah salah satu wujud keikhlasan itu, ia dikonstruk oleh pendidikan modern menjadi sebuah soft skill, yakni kemampuan afektif, kemampuan bersikap. Pendidikan di pesantren tidak hanya mendidik pikiran tetapi juga hati. Hal ini terjadi karena kejayaan Islam ditopang oleh beberapa pilar: 1) Ketinggian akhlakul karimah, 2) Keluasan dan kedalaman ilmu pengetahuan, 3) Ukhuwah Islamiyah yang kokoh, 4) Kedermawanan.
Kedua, kesederhanaan merupakan pola utama atau style utama pendidikan pesantren. Prinsip ini yang mendasari pesantren selalu eksis di setiap masa dan zaman. Ketiga kemandirian, berbekal keikhlasan dan kesederhanaan menjadikan santri berpotensi menjadi manusia yang mandiri, menjadikan pesantren sebagai lembaga yang sehat. Sehat perspektif pesantren adalah sehat jasmani, ruhani dan ekonomi. Keempat persatuan, prinspi ini terbukti pada kebiasaan di mana santri saling rela meminjamkan barang, saling berbagi saat dikirim dan saling menolong ketika ada kesulitan. Kelima adalah prinsip demokratisasi.
Selain lima prinsip di atas, pembeda pendidikan pesantren adalah orientasi melahirkan generasi yang bersikap tawadhu’. Prestasi apapun yang diraih dan kesuksesan apapun yang menyala pada dirinya, ia senantiasa tawadhu’ baik di hadapan Allah maupun sesama manusia. Orang yang dikasihi Allah, yang dirahmati Allah adalah mereka yang berjalan di muka bumi ini tidak dengan arogan, tidak dengan angkuh tetapi dengan tetap tawadhu’. Setelah sikap tawadhu’ dikedepankan dan dinyalakan, selanjutnya adalah harus betul sungguh-sungguh dalam menempuh tahapan pendidikan, dalam membuka kotak pandora keilmuan.
Jika dikaitkan dengan perkembangan keilmuan, pesantren adalah lembaga pendidikan yang mengakomodir atau menjungjung tinggi tiga keilmuan yang ditemukan dari masa ke masa. Pertama, seorang ahli pada tahun 1909 menemukan kecerdasan intelektual (IQ). Pada periode ini kekurangannya adalah manusia menjadi besar di kepala tetapi kecil di badan, hanya besar di konsep dan hanya berbicara rasionalitas. Maka, ditemukan lagi pada tahun 1980 yang namanya kecerdasan emosional (EQ). Selain kecerdasan berpikir, keterampilan memetakan sesuatu melalui rasionalitas. Manusia juga membutuhkan pendidikan hati, seperti kejujuran, empati dan senang kepada manusia yang lain. Kecerdasan emosional bahkan melewati kecerdasan intelektual. Contoh, orang dipecat kerja bukan karena tidak pintar, tetapi karena tidak jujur, tidak setia, tidak berintegritas. Kemudian di tahun 1990 ditemukan kecerdasan spiritual (SQ). Di mana orang sukses bukan hanya karena pintar, jujur dan setia, tetapi juga melibatkan tangan-tangan Tuhan di semua pekerjaannya. Tahajud, dhuha, baik kepada orang tua, ta’dhim kepada guru dan menangis di hadapan Tuhan untuk untuk semua keresahan dan kesulitan.
Pesantren menyadari, mengimplementasi dan menginternalisasi tiga kecerdasan ini dalam diri santri. Perpaduan di antara ketiganya adalah karakter yang hendak dilahirkan dari pendidikan pesantren. Maka inteletualitas saja, tanpa emosional dan spiritual, bagaikan lentera di tangan bayi. Dia memang terang benderang tetapi tidak bisa memberikan manfaat. Jika hanya rasionalitas dan emosional tanpa spiritualitas, maka sama dengan lentera di tangan pencuri.
Ada sebuah kisah di mana seorang yang buta menyalakan obor di Tengah malam. Orang yang bisa melihat bertanya. “Wahai buta ngapain Anda nyalakan obor, toh Anda tetap tidak bisa melihat?” Orang buta menjawab. “Iya, obor ini bukan untuk kaum saya yang buta. Tetapi untuk kalian yang bisa melihat.” Catatan sejarah membuktikan bahwa tidak ada orang buta masuk kamar istri tetangga. Tetapi, banyak orang yang bisa melihat dengan sengaja masuk ke kamar istri tetangga. Kisah ini merupakan otokritik besar. Koruptor itu tidak ada yang buta, mereka bisa melihat dan memiliki kecerdasan intelektual dengan beberapa gelar yang disandangnya. Maka, yang dimaksud di sini bukan mata kepala tetapi mata hati, semacam sinar yang menyinari di dalam kegelapan. Inilah visi pesantren.
- Sinta Bellahttps://stairaya.ac.id/author/sinta-bella/
- Sinta Bellahttps://stairaya.ac.id/author/sinta-bella/
- Sinta Bellahttps://stairaya.ac.id/author/sinta-bella/
- Sinta Bellahttps://stairaya.ac.id/author/sinta-bella/