Search

PENDIDIKAN YANG TAK LAGI MEMERDEKAKAN: REFLEKSI KRITIS ATAS KOMERSIALISASI PENDIDIKAN

Buku mahasiswa Agen Perubahan karya Alsaba S. Igobula merupakan Kumpulan esai yang menyuarakan refleksi kritis terhadap peran mahasiswa dalam menghadapi realitas sosial dan pendidikan. Melalui bahasa yang lugas dan pemikiran yang tajam, penulis mengajak pembaca untuk melihat mahasiswa bukan sekadar bagian dari sistem, melainkan sebagai agen perubahan yang mampu berpikir kritis dan bertindak nyata. Buku ini menyajikan gagasan yang mudah dipahami, realistis, setiap esai mengalir dengan baik, menggugah pemikiran, dan mendorong pembaca untuk melakukan refleksi kritis terhadap dunia pendidikan terutama kampus. Salah satu bab yang yang paling berkesan bagi kami adalah Pendidikan tidak memerdekakan, Mansour Fakih membebaskan, dalam bagian ini penulis mengangkat pemikiran Mansour Faqih sebagai simbol pembebasan dari sistem pendidikan yang cenderung mengekang dan tidak membebaskan daya pikir mahasiswa. Sangat relevan dengan kondisi dunia pendidikan masa kini. Buku ini bukan hanya menginspirasi, tetapi juga menjadi cermin bagi generasi muda untuk berani menjadi agen perubahan yang sesungguhnya.

Mahasiswa, dalam buku ini, digambarkan sebagai potret kehidupan yang dianalogikan dengan pelangi. Analogi ini bukan sekadar hiasan retoris, melainkan cerminan dari kompleksitas realitas yang mereka hadapi. Gelar MAHA yang disematkan pada mereka bukan hanya simbol akademik, tetapi juga representasi dari beragam persoalan yang mereka jalani, mulai dari yang remeh hingga yang akut, dari yang sederhana hingga yang bersarat makna. Mahasiswa adalah pelangi kehidupan penuh warna, penuh tantangan, dan penuh harapan. Namun di tengah hiruk-pikuk dunia pendidikan muncul pertanyaan mendasar yang terus menggema: apa sebenarnya tujuan Pendidikan? Mengapa kini banyak yang meyakini bahwa tanpa sertifikat pendidikan tinggi seseorang tidak akan mendapatkan pekerjaan? Apakah pendidikan semata-mata menjadi alat untuk memperoleh pekerjaan dan keuntungan ekonomi pertanyaan ini menjadi semakin relevan ketika kita menyadari bahwa visi dan misi pendidikan mulai bergeser. Ki Hajar Dewantara pernah menegaskan bahwa tujuan pendidikan adalah mencerdaskan bangsa dan memanusiakan manusia. Tetapi, apakah pendidikan saat ini benar-benar memanusiakan manusia? Ataukah justru membungkam suara mereka, menjadikan peserta didik sebagai objek komersialisasi dengan dalih peningkatan kualitas melalui biaya yang semakin tinggi? Jika mencerdaskan bangsa berarti membatasi ruang gerak dan kebebasan berpikir, maka itu bukan kecerdasan melainkan pembodohan yang halus.

Dalam buku ini, penulis juga mengangkat pemikiran Adam Smith, tokoh ekonomi klasik yang menekankan kebebasan dalam produksi dan perdagangan demi kepentingan pribadi dan keuntungan finansial. Pemikiran ini, yang seharusnya berada dalam ranah ekonomi, kini merasuki dunia pendidikan. Pendidikan yang seharusnya menjadi ruang pembebasan justru berubah menjadi alat penindasan yang terselubung. Institusi Pendidikan menjelma menjadi korporasi yang berorientasi pada keuntungan, bukan lagi pada nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan. Hak suara mahasiswa seringkali disita, aspirasi mereka dibungkam, dan ruang diskusi kritis dipersempit. Ironisnya, institusi pendidikan yang seharusnya menjadi benteng terakhir demokrasi justru ikut melanggengkan ketimpangan. Di mana letak kata memerdekakan jika biaya Pendidikan terus melambung tinggi, sementara mutu pengajaran dan fasilitas tidak sebanding?

Salah satu bukti nyata dari ketidakmerdekaan pendidikan terjadi pada 25 Agustus 2025 Mahasiswa dari berbagai provinsi menggelar aksi di depan Gedung DPR/MPR RI, menuntut pengesahan revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi. Namun, aspirasi yang mereka sampaikan tidak memperoleh respon yang semestinya dari pihak berwenang. Bahkan, sejumlah individu mengalami penahanan, dan insiden tersebut berujung pada tindakan represif yang menyebabkan jatuhnya korban jiwa. Manik, salah satu perwakilan mahasiswa, mempertanyakan apakah DPR telah menerima aspirasi mereka. Supratman dari DPR meminta agar tuntutan dibacakan ulang karena informasi tersebut tidak disampaikan oleh Sekjen DPR. Mahasiswa kecewa dan menyatakan mosi tidak percaya kepada DPR sebelum akhirnya meninggalkan ruangan. Kekecewaan ini bukanlah hal baru. Pada peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) 2 Mei 2025, sorotan tajam tertuju pada mahalnya biaya pendidikan, kekerasan di lingkungan sekolah, dan merosotnya integritas akademik. Pendidikan semakin menjauh dari nilai keadilan sosial dan lebih condong ke arah komersial. Institusi pendidikan menetapkan biaya tinggi dengan dalih peningkatan kualitas, namun kenyataannya tidak sedikit mahasiswa yang merasa tertindas oleh sistem yang tidak berpihak. Dalam orasinya di Banda Aceh, Presiden Mahasiswa UIN Ar-Raniry, Teuku Raja Aulia Habibi, menyatakan dengan tegas penolakan terhadap komersialisasi pendidikan. Ia menyebut kampus telah berubah menjadi ladang bisnis, dan mahasiswa hanya dianggap sebagai “angkut pasar”. Pernyataan ini menggambarkan betapa pendidikan telah kehilangan ruhnya sebagai alat pembebasan. Secara teoritis, Mansour Faqih menekankan bahwa pendidikan yang tidak memerdekakan adalah pendidikan yang hanya melayani kepentingan kelas dominan dan menyingkirkan kesadaran kritis.

Sebenarnya, komersialisasi pendidikan dan praktik pembungkaman hak suara dalam menyampaikan pendapat dimulai sejak kapan? Dan siapa yang melopori system tersebut? Sebab, dalam ajaran agama Islam tidak pernah diajarkan bahwa pendidikan adalah sarana untuk meraih keuntungan finansial, apalagi sampai menyita hak suara murid. Pada zaman Nabi Muhammad SAW, model pengajaran bersifat interaktif dan berbentuk majelis diskusi. Beliau tidak selalu memberikan jawaban mutlak tanpa membuka ruang bagi pertanyaan. Pada masa itu, pendidikan berpusat di masjid dan rumah para sahabat, yang berarti tidak ada biaya institusi. Pendanaan pendidikan didukung oleh kebijakan negara seperti Baitul Mal. Ada satu cerita yang pernah kami dengar suatu ketika, sebelum perang terjadi, Nabi dan para sahabat mengatur strategi peperangan. Sebelum perang dimulai, Nabi Muhammad SAW memilih tempat perhentian pasukan di dekat sumur Badar. Seorang sahabat bernama Hubab bin Mundzir berdiri dan bertanya, “Ya Rasulullah, apakah tempat ini engkau pilih berdasarkan wahyu dari Allah sehingga kami tidak boleh mengajukan usul lain, atau ini hanyalah strategi perang, pendapat pribadi Anda?” Rasulullah SAW menjawab, “Ini hanyalah strategi perang dan pendapatku.” Hubab kemudian mengusulkan, “Kalau begitu, tempat ini kurang strategis. Sebaiknya kita maju ke mata air yang paling dekat dengan musuh, kita gali sumur-sumur di belakangnya, dan kolam-kolam kita penuhi dengan air. Dengan begitu, kita bisa minum, sementara musuh kehabisan air.” Nabi SAW langsung menerima usul Hubab dan melaksanakan strateginya. Ini menunjukkan bahwa dalam majelis ilmu dan musyawarah, suara yang didasarkan pada ilmu dan logika yang kuat diutamakan, bahkan di atas pendapat seorang pemimpin tertinggi. Setelah Perang Badar dimenangkan, kaum Muslimin menawan 70 orang musyrikin Quraisy. Para sahabat berdiskusi tentang nasib mereka, dan keputusan yang diambil menjadi contoh nyata kemuliaan ilmu dan pendidikan tanpa memandang finansial. Umar bin Khattab berpendapat mereka harus dibunuh. Abu Bakar berpendapat mereka sebaiknya ditebus. Nabi Muhammad SAW akhirnya memutuskan untuk membebaskan tawanan dengan salah satu dari dua pilihan: membayar tebusan harta, atau bagi tawanan yang pandai membaca dan menulis, mereka dibebaskan dengan syarat mengajari 10 anak Muslim hingga mahir membaca dan menulis. Keputusan ini menjadikan keterampilan literasi membaca dan menulis sebagai mata uang tebusan dan bentuk pendidikan yang gratis bagi anak-anak Muslim yang tidak mampu, menekankan bahwa nilai ilmu jauh lebih tinggi daripada harta. Cerita ini membuktikan bahwa dahulu pendidikan masih dalam konteks musyawarah, menerima setiap pendapat, dan tidak dipungut biaya. Namun, itu terjadi di zaman Nabi, ketika hati umat Muslim masih suci dan belum ternodai. Lalu bagaimana dengan zaman setelahnya? Apakah masih ada yang menganut sistem pendidikan seperti itu?

Cerita tentang Imam Malik, di mana suatu ketika beliau berbeda pendapat dengan muridnya, Imam Syafi’i. Imam Malik menekankan pada sisi tawakal yang sempurna. Beliau berpendapat bahwa rezeki datang karena keyakinan murni kepada Allah. Beliau berkata, “Cukup dengan tawakal yang benar kepada Allah, niscaya Allah akan memberikan rezeki. Lakukan yang menjadi bagianmu seperti beribadah dan mengajar, selanjutnya biarkan Allah yang mengurus lainnya.” Imam Syafi’i menekankan pada sisi ikhtiar yang tercermin dalam hadis. Beliau berpendapat, “Ya Syekh, seandainya seekor burung tidak keluar dari sarangnya dan tidak terbang di pagi hari, bagaimana mungkin ia akan mendapatkan rezeki?”, Imam Syafi’i berargumen bahwa rezeki harus dicari melalui usaha dan kerja keras yang dibarengi dengan tawakal. Keduanya tetap teguh pada pendapat masing-masing berdasarkan pemahaman yang kuat dari hadis yang sama. Untuk membuktikan pandangannya, Imam Syafi’i kemudian meninggalkan pondok dan pergi ke luar. Di tengah perjalanan, beliau melihat serombongan orang yang sedang memanen anggur di kebun. Beliau menawarkan bantuan. Setelah selesai, para petani memberikan beberapa ikat anggur segar sebagai upah. Imam Syafi’i merasa sangat gembira, bukan karena anggurnya, tetapi karena merasa pendapatnya telah terbukti: “Jika saya tidak keluar pondok dan tidak berikhtiar, tentu anggur itu tidak akan sampai di tangan saya.” Imam Syafi’i segera membawa anggur itu kepada Imam Malik dengan niat baik untuk melaporkan dan menguatkan pendapatnya. Ketika Imam Syafi’i menceritakan kejadian tersebut, Imam Malik tersenyum lembut. Beliau mengambil seikat anggur dan mencicipinya. Sambil menikmati anggur tersebut, Imam Malik berkata, “Wahai Muhammad (Syafi’i), seharian ini aku tidak keluar pondok, hanya mengajar dan beribadah, dan terlintas di benakku alangkah nikmatnya jika di hari yang panas ini aku bisa menikmati anggur segar. Tiba-tiba engkau datang membawakan anggur untukku. Bukankah ini juga bagian dari rezeki yang datang tanpa sebab, cukup dengan tawakal yang benar kepada Allah.” Kedua Imam Mazhab itu kemudian tertawa bersama. Cerita ini mengajarkan kita bahwa dalam suatu pendidikan harus menerima pendapat, bahkan sekelas Imam Malik, meskipun berstatus guru dan ulama besar Imam Darul Hijrah, tidak pernah membungkam kritik atau perbedaan pandangan dari muridnya yang masih muda. Beliau membiarkan Imam Syafi’i berpendapat dan bahkan berusaha membuktikannya.

Kejadian yang serupa terjadi juga di zaman Syekh K.H. Hasyim Asy’ari ketika Pondok Pesantren Tebuireng baru didirikan. Suatu hari, K.H. Hasyim Asy’ari sedang berjalan-jalan mengamati suasana pondoknya. Beliau berhenti di dekat tempat pendaftaran santri baru. Beliau kemudian mendengar percakapan antara seorang santri senior dengan seorang wali calon santri yang terlihat sederhana dan miskin. Wali santri itu tampaknya sedang berjuang untuk mendaftarkan anaknya. Wali santri memohon agar anaknya bisa diterima, namun dengan jujur mengatakan bahwa ia tidak mampu membayar biaya pendaftaran yang ditetapkan. Santri senior menolak permohonan tersebut, dengan alasan bahwa peraturan pondok harus ditegakkan, dan jika tidak mampu membayar, maka pendaftaran tidak bisa diproses. Mendengar penolakan tersebut, Kiai Hasyim segera mendekati mereka. Dengan suara yang lembut namun tegas, beliau menegur santri yang menolak itu. Beliau kemudian berbalik kepada wali santri yang miskin itu dan berkata, dengan kalimat yang kurang lebih berbunyi. “Sudah, Bapak tidak perlu khawatir. Masukkan saja anak Bapak. Pondok ini gratis! Ilmu di sini tidak dijual belikan. Biaya pendaftaran dan kebutuhan lainnya biar menjadi tanggung jawab saya.” Setelah wali santri itu pergi dengan hati gembira, K.H. Hasyim Asy’ari memanggil semua yang ada di sana dan memberikan pesan yang sangat mendalam. “Kalian tidak boleh menolak orang yang ingin mencari ilmu hanya karena mereka miskin. Tugas kita adalah menyebarkan ilmu Allah, bukan mengumpulkan harta. Jika ada yang datang untuk belajar, diterima! Soal biaya, biar Allah dan saya yang mengurus.” Beliau lebih mementingkan keikhlasan dalam mencari dan menyebarkan ilmu dibandingkan dengan pendapatan finansial dari pondok. Maka cerita ini mengajarkan kita bahwa tidak semua karena uang, namun landaskanlah karena Allah tanpa mementingkan dunia. Terus bagaimana bentuk pendidikan sekarang, apakah sama? Jika mereka tidak mengikuti ajaran agama Islam dan mereka mengatakan agama mereka adalah Islam, dari mana pemikiran mereka yang sampai menjadikan institusi pendidikan sebagai pencari keuntungan finansial dan mencabut hak berbicara? Inilah yang sejatinya disebut sebagai pendidikan yang memerdekakan, pendidikan yang berpihak pada kebutuhan umat, menjunjung tinggi hak suara, dan tidak tunduk pada kekuasaan harta maupun jabatan. Pendidikan seperti ini tidak membungkam, melainkan membebaskan. Guru kami, Gus Misbahul Munir, pernah menyampaikan sebuah nasihat yang sangat membekas “Ketika seseorang berada di institusi pendidikan, jangan pernah menyebut derajat ayahmu sebagai derajat dirimu. Sebab dalam dunia pendidikan, semua setara, baik anak presiden maupun anak kiai, semuanya memiliki hak yang sama.” Pernyataan ini bukan sekadar idealisme, melainkan panggilan untuk kembali pada hakikat pendidikan yang luhur. Maka timbul pertanyaan penting bagi kita sebagai generasi muda bagaimana cara kita mengembalikan wajah pendidikan bangsa ini kepada jati dirinya yang sejati?

Satu pertanyaan menarik yang muncul dari buku ini Adalah mengapa pendidikan yang memerdekakan bisa mengarah pada kemanusiaan? Pertanyaan ini sempat menjadi renungan pribadi, mengapa pendidikan bisa menjadi jalan menuju kemanusiaan? Penulis menjawabnya dengan tegas karena pendidikan yang berorientasi pada nilai-nilai kemanusiaan memungkinkan mahasiswa atau peserta didik untuk bebas memperjuangkan hak-hak dasar yang mereka miliki. Namun, perjalanan menuju cita-cita tersebut tidaklah mudah. Setiap individu memiliki pola pikir yang berbeda, dan tantangan terbesar terletak pada bagaimana menyelaraskan perbedaan itu dalam sistem pendidikan. Di sinilah peran tiga komponen utama tenaga pendidik, peserta didik, dan pemerintah menjadi sangat penting. Ketiganya harus saling bersinergi untuk melepaskan belenggu dan keterkungkungan yang selama ini menjerat kebebasan berpikir. Menurut penulis, tenaga pendidik seharusnya berfungsi sebagai fasilitator, bukan sebagai diktator, doktriner, atau pengendali yang mengekang. Sementara itu, pemerintah idealnya menjadi penyokong, bukan produsen kebijakan yang sok mengatur segala aspek pendidikan. Sayangnya, pendidikan yang katanya “memerdekakan” itu masih sebatas jargon manis di bibir, namun pahit dalam pelaksanaannya. Faktanya, model pendidikan seperti itu belum benar-benar terimplementasi, bahkan di tingkat mahasiswa sekalipun. Dalam buku ini, penulis mengutip pernyataan tajam dari Ronald Takaki “Mereka ditempatkan dalam peti mati, emosinya dikontrol dan jiwanya dikuasai.” Ungkapan ini menggambarkan kondisi peserta didik yang tidak diberi ruang untuk bertindak bebas, tidak diperlakukan sebagai manusia yang memiliki potensi untuk berkembang dan berpendapat. Mereka justru dituntut untuk tunduk pada kehendak para petinggi negara dan institusi pendidikan.

Menariknya, penulis juga mengakui bahwa buku ini tidak menawarkan solusi konkret. Ia hanya mengorek, mengumbar, dan mengulas pernak-pernik masalah yang kerap dihadapi mahasiswa. Maka, sebagai generasi muda, kita tidak boleh hanya menjadi pembaca pasif terhadap berbagai ketimpangan dalam dunia pendidikan. Jika buku ini hanya menyajikan kritik tanpa solusi, maka kita harus hadir sebagai suara alternatif bukan hanya mengkritisi, tetapi juga menggagas perubahan. Pendidikan adalah ruang harapan. Dan harapan itu akan terus hidup selama ada keberanian untuk memperjuangkannya. Maka, mari kita mulai dari diri sendiri berpikir kritis, bersikap aktif, dan berani menyuarakan keadilan demi masa depan pendidikan yang lebih setara dan bermakna. Kita tidak bisa terus menunggu perubahan datang dari atas. Justru dari ruang-ruang kecil seperti diskusi antar mahasiswa, tulisan reflektif, dan gerakan intelektual mandiri, benih-benih transformasi bisa tumbuh. Ketika kita berani mempertanyakan sistem, mengusulkan alternatif, dan menghidupkan semangat kolektif, pendidikan tidak lagi menjadi ruang yang membatasi, melainkan medan yang membebaskan. Maka, menjadi kritis bukanlah sikap pesimis melainkan bentuk cinta terhadap masa depan yang lebih adil dan manusiawi.

Buku ini telah membuka cakrawala berpikir kami. Sebelumnya, kami tidak memiliki arah yang jelas tentang masa depan tidak tahu hendak ke mana melangkah, bahkan mempertanyakan untuk apa sebenarnya kami menuntut ilmu. Namun, melalui pemikiran yang dituangkan dalam buku ini, kami menemukan jawaban yang memuaskan sekaligus meluaskan cara pandang kami terhadap institusi pendidikan. Kami mulai memahami bahwa pendidikan bukan sekadar rutinitas akademik, melainkan ruang untuk menemukan jalur perjalanan dan impian kami sendiri. Bagi mahasiswa atau peserta didik yang masih merasa kehilangan arah, buku ini bisa menjadi titik awal untuk menemukan makna dan tujuan. Ia tidak hanya menyentuh sisi intelektual, tetapi juga menggugah kesadaran akan pentingnya kebebasan berpikir dan keberanian untuk bermimpi. Jika suatu hari kami diberi kesempatan untuk membaca karya-karya beliau, kami tidak akan menyia-nyiakannya. Semoga saja ada kesempatan kedua yang bisa kami raih karena kami percaya, setiap gagasan yang lahir dari pemikiran beliau adalah lentera yang mampu menerangi jalan kami. Yuhu! Semangat terus untuk belajar, berpikir, dan bermimpi. Karena pendidikan sejatinya adalah perjalanan menuju kemerdekaan diri dan kemanusiaan yang utuh.

 

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top