Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) memiliki jenjang kaderisasi formal. Tingkat kedua disebut Pelatihan Kader Dasar (PKD), kader yang sudah menuntaskan jenjang ini memiliki gelar sebagai kader Mujahid. Dilansir dari halaman NU Online Jabar, pemateri dalam PKD di Institut Madani Nusantara, Mbah Mufa mengatakan bahwa kader mujahid artinya mereka yang memiliki kesungguhan dan daya juang tinggi untuk meninggikan prinsip Ahlussunnah wal Jamaah. Tidak lagi mempertanyakan apalagi ada keraguan dalam ber-PMII, loyalitasnya harus ditambah.
Karenanya, menjadi seorang kader mujahid merupakan suatu tanggung jawab sekaligus amanah yang akan dipertanggung jawabkan di hadapan Allah SWT. Dibesut dalam sebuah artikel yang berjudul memaknai eksistensi dan substansi peran kader dalam bumi pergerakan, kader mujahid dimaknai sebagai “seseorang yang akan bermetamorfosa menjadi kader PMII yang memiliki komitmen, totalitas, loyalitas, serta militansi terhadap organisasi berlambang perisai sebilan.” Bukan hanya dalam segi dhohir-nya saja, tetapi juga batin, seorang kader mujahid harus mampu mengendalikan dan menyeimbangkan berbagai aspek permasalah dalam bidang keilmuan, sosial, sekaligus politik. Semua hal tersebut harus selaras dengan ajaran yang absolut, yakni nilai-nilai Keislaman.
Seiring berkembangnya zaman, media digital dan teknologi semakin berkembang pesat. Karena hal tersebut, seharusnya kita menjadi semakin memahami peran kita dalam pengimplementasian secara keseluruhan di berbagai aspek. Mulai dari bidang keagamaan, sosial, budaya dan politik. Di mana dalam pengambilan keputusan harus sesuai dengan landasan keislaman ahlusunnah wal jamaah, serta memperhatikan 3 hal diantaranya: tawassut, tawazzun tasamuh. Berbekal tiga prinsip tersebut kita dapat menelaah sebuah permasalahan dengan informasi yang jelas berdasarkan data yang tersebar di media sosial maupun situs web lainnya. Bukan malah kita mudah terpengaruh informasi yang belum ditemukan kebenarannya. Misal ada sebuah permasalahan dalam pandangan umum tentang menormalisasi hijab dengan pakaian ketat di mana hal ini menyalahkan kriteria daripada menutup aurat itu sendiri dan konsep seorang laki-laki friendly terhadap semua perempuan itu wajar. Namun sebaliknya, jika ada seorang perempuan bersikap friendly maka akan mendapat pandangan kurang baik. Padahal dalam hukum Islam sendiri tidak menyebutkan bagi siapa dan untuk siapa konteks menundukkan pandangan terhadap lawan jenis, hanya saja minimnya pemahaman yang dimiliki oleh kebanyakan orang terhadap ketentuan sesungguhnya. Dari dua hal ini kita mengetahui bahwa yang menjadi pembiasaan belum tentu menjadi kebenaran.
Di era digital ini, kita juga mampu mengakses banyak materi dan informasi, bergantung kepada seberapa jauh orang tersebut ingin mencari. Bahkan ‘tak sedikit dari kita menyimpulkan bahwa baik buruk nya seseorang bergantung pada apa yang dia lihat setiap hari. Kalo kita masih belum bisa mendapatkan atau menemukan kebaikan dalam tontonan kita, maka buatlah sesuatu yang baik dan bermanfaat untuk ditonton. Di sinilah peran media dan teknologi sangat penting dalam penggunaan dan kegunaannya. Pepatah arab mengatakan “ ibda’ bi nafsik” mulailah sesuatu dari dirimu sendiri. Konsep inilah yang perlu menjadi pedoman dasar bagi para kader pejuang, memulai segala bentuk perubahan dengan mencontohkan.
Oleh : Iim Imroatul Hasanah
- DEMA STAIRAYAhttps://stairaya.ac.id/author/dema/
- DEMA STAIRAYAhttps://stairaya.ac.id/author/dema/
- DEMA STAIRAYAhttps://stairaya.ac.id/author/dema/
- DEMA STAIRAYAhttps://stairaya.ac.id/author/dema/