Mahasiswa adalah agen perubahan, hal ini sering digaung-gaungkan dan didoktrinasi kepada kaum intelektual yang disebut mahasiswa. Lantas, apa yang mahasiswa harus ubah? Negara, masyarakat, atau dirinya sendiri? Itulah yang terbesit ketika aku menerima materi pengorganisiran masyarakat di kegiatan SAR (Sekolah Advokasi dan Riset) yang di adakan oleh PC PMII Jember.
Aku mengangkat tema ini karena kekhawatiran saat bergaul di lingkungan perguruan tinggi. Entah karena transisi dari model pembelajaran tradisional ke model pembelajaran merdeka sehingga suasana mahasiswa lebih pasif daripada Dosen. Membuatku bertanya-tanya dalam hati “Apa aku yang terlalu bodoh atau memang potensiku tidak bisa dibandingkan dengan Dosen?” Berbanding terbalik ketika aku mengikuti kegiatan di luar kampus, suasana lebih aktif daripada pemateri. Sejak usai mengikuti SAR (Sekolah Advokasi dan Riset) kami bercita-cita mengubah budaya pembelajaran di lingungan kami menjadi lebih aktif. Dimulai dari diri sendiri, dilanjut direfleksikan, dan diimplementasikan dalam organisasi kemahasiswaan. Sehingga, terlihat tidak mustahil jargon mahasiswa agent of change tersebut.
Sahabat Nur Wahid salah satu pemateri kegiatan SAR menjelaskan hukum dialektika itu ada tiga: kuantitas-kualitas, kutub berlawanan yang saling merasuki, negasi dari legasi. Diambil dari point yang kedua dulu, bahwa pasti ada pertentangan dari perubahan budaya. Yakni dari model tradisional menjadi model merdeka, pasti yang ku dengar pertamakali adalah ungkapan “Dekmaah mak yeh ma iyeh mloloh.” Tetapi hal itu sudah biasa, karena merupakan sunnatullah, ada yang pro dan yang kontra. Selanjutnya mengubah kuantitas menjadi kualitas, mengubah statement-statment yang dulu didasarkan oleh diri sendiri di ubah menjadi steatment-steatment yang didasari pendapat para ahli, dan yang dulu apatis ke setiap materi diubah menjadi kritis kepada setiap materi. Terakhir negasi dari legasi yaitu ada regerenasi dari budaya yang sudah diubah.
Dari semua perjalanan reflktif ini, kami memiliki harapan bahwa dengan niat baik dan diimplementasikan dalam kegiatan-kegiatan organisasi, dapat mengubah budaya tradisional menjadi lebih merdeka berbasis dialektika. Tanpa mengurangi rasa ta’dim kepada Guru, Ustadz, dan Dosen. Sehingga mahasiswa menjadi agen perubahan itu tidak omong kosong saja, akan tetapi jelas buktinya karena kalau di lingkungan kelas saja tidak kritis apalagi di lingkungan yang lebih luas.
Penulis: Muhammad Farhat Hasan
- DEMA STAIRAYAhttps://stairaya.ac.id/author/dema/
- DEMA STAIRAYAhttps://stairaya.ac.id/author/dema/
- DEMA STAIRAYAhttps://stairaya.ac.id/author/dema/
- DEMA STAIRAYAhttps://stairaya.ac.id/author/dema/