Search

Urgensi Khidmah Dalam Mencari Ilmu

Ulama mengatakan,”mayoritas ilmu itu diperoleh sebab kuatnya hubungan baik antara murid dengan gurunya”. Untuk memperoleh keberkahan ilmu harus dengan khidmah. Bagian ini berisi dua kata kunci, yaitu berkah dan khidmah. Agar ilmu yang telah dipelajari berbarokah, maka seorang yang mencari ilmu harus berkhidmah. Apa yang dimaksud berkah? Apa pula maksud khidmah?

Ilmu yang barokah dapat diartikan sebagai ilmu yang bermanfaat. Ilmu yang telah dipelajari dengan susah-payah memberi manfaat baik bagi diri sendiri dan orang lain. Ilmu itu membawa manusia mendekat kepada Allah, bukan malah menjauh. Jika suatu ilmu menjauhkan manusia dari Allah, itu ciri ilmu itu tidak bermanfaat, walaupun ilmu itu misalnya, membawa kekayaan dan mengantarkan pelakunya kepada puncak popularitas.

Keberkahan ilmu ini kurang lebih sama dengan keberkahan harta. Harta yang barokah adalah harta yang mendekatkan pemiliknya kepada Allah, bukan malah membuatnya semakin jauh dari Allah. Walaupun banyak, jika hanya menjadi sarana maksiat, menambah dosa, maka harta dapat disebut tidak berkah. Jadi kata kuncinya adalah taqwa seseorang menjadi tolak ukur keberkahan ilmu.

Khidmah adalah satu satu cara meraih keberkahan ilmu. Khidmah dapat diterjemahkan dengan pengabdian. Jadi seorang penuntut ilmu adalah orang yang mengabdi, baik kepada gurunya, lembaga pendidikannya, atau kepada masyarakat pada umumnya.

Tujuan utama dari khidmah adalah untuk menciptakan hubungan batin yang kuat antara murid dengan guru dan mendapatkan keridhaan guru. Jika guru sudah ridha kepada murid, itu alamat sang murid akan berhasil. Keridhaan guru merupakan keberhasilan pertama murid.

Khidmah ini bisa dilakukan dengan hal-hal kecil seperti merapikan sandal guru agar guru mudah memakai sandalnya kembali, mencuci kendaraan guru, atau membantu pekerjaan rumah guru dan mengikuti semua peraturan yang dibuat oleh guru. Oleh karenanya, KH. Syamsul Arifin Abdullah selaku pengasuh pondok pesantren Bustanul Ulum Mlokorejo-Jember selalu menyampaikan kepada orang tua dan santri bahwa “monduk niat ngabdih, artennah nyediaagi abe’ dek kon pakonnah guruh” (mondok itu niat mengabdi artinya menyediakan diri untuk melaksanakan perintah guru). Hal yang serupa bisa dijumpai di pesantren-pesantren salafiyyah lainnya.

Kesuksesan murid  dalam memperoleh ilmu yang bermanfaat, tidak hanya ditentukan oleh lembaga pendidikan, metode mengajar guru, atau sarana prasarana fisik dalam belajar, tapi yang paling dominan justru ditentukan oleh akhlak murid  kepada guru. Bahkan dalam hal ini, sayyidina Ali menyatakan dirinya adalah budak guru yang mengajarkannya walaupun satu huruf.

Al Imam an Nawawi ketika hendak belajar kepada gurunya, beliau selalu bersedekah di perjalanan dan berdoa, ” Ya Allah, tutuplah dariku dari kekurangan guruku, hingga mataku tidak melihat kekurangannya dan tidak seorangpun yg menyampaikan kekurangan guruku kepadaku “. (Lawaqih al Anwaar al Qudsiyyah : 155).  Dalam kitab At Tahdzibnya beliau juga mengatakan “Durhaka kepada orang tua dosanya bisa hapus oleh taubat, tapi durhaka kepada ustadzmu tidak ada satupun yang dapat menghapusnya “.

Imam al-Zarnuji di dalam kitab Ta’lim al-Muta’allim bahwa Kholifah Harun ar-Rasyid pernah mengirimkan puteranya untuk belajar ilmu dan adab kepada seorang ulama, imam Kisa’i. Suatu hari, ia mengunjungi anaknya tersebut. Lalu ia melihat sang guru tengah membasuh kakinya ketika berwudhu. Sedangkan anaknya terlihat hanya menuangkan air di atas kaki gurunya. Menyaksikan kejadian itu, kholifah berkata kepada sang Guru, “Aku mengirim anakku kepada anda agar anda mengajarinya ilmu dan adab yang baik. Mengapa anda tidak menyuruhnya menuangkan air dengan satu tangannya, dan membasuh kakimu dengan tangannya yang lain?” Cerita tersebut menegaskan bahwa sang Khalifah ingin sekali puteranya bisa berkhidmah dan melayani gurunya dengan sebaik-baiknya.

Di era teknologi yang semakin maju disertai kian merosotnya akhlaqul karimah, pesantren merupakan solusi yang tepat untuk pendidikan para generasi muda, utamanya kaum milenial yang kini disebut gen Z. Hari ini pesantren mendapat perhatian besar dari kalangan masyarakat. Mereka berduyun-duyun membawa anak-anaknya untuk masuk pesantren. Karena pesantren dipandang telah sukses membentengi anak-anak dari pengaruh teknologi dan globalisasi yang semakin buruk. Di pesantren, santri selalu diajarkan untuk menguasai ilmu, baik yang tersurat maupun tersirat, serta memahami hal yang diucapkan dengan kalimat maupun yang disampaikan lewat isyarat. Pesantren hingga kini berdiri tegak untuk menjaga tradisi khidmah dalam mencari ilmu.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top